Plt. Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat Kemenkes Murti Utami menyebutkan dalam skala prevalensi provinsi yang memiliki angka balita kerdil tertinggi di Indonesia, yakni Nusa Tenggara Timur 37,8 persen, Sulawesi Barat 33,8 persen, Aceh 33,2 persen, Nusa Tenggara Barat 31,4 persen. Terdapat pula Sulawesi Tenggara 30,2 persen, Kalimantan Selatan 30 persen dan Kalimantan Barat 29,8 persen.
Menurut Murti, salah satu penyebab anak dapat lahir dalam keadaan kerdil adalah karena sejak masa remaja, seorang ibu sudah mengalami anemia. Oleh karena itu, Kemenkes akan memperkuat kerja sama bersama Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) melalui intervensi spesifik seperti memberikan tablet darah pada remaja putri di sekolah tingkat SMP
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menyebutkan 15 kabupaten di Nusa Tenggara Timur (NTT) dalam situasi darurat terkait dengan permasalahan kekerdilan. “Saya yakin dengan fokus kepada konvergensi tingkat desa, sangat menentukan penerimaan paket manfaat kepada keluarga berisiko ‘stunting’ (kekerdilan),” kata Kepala BKKBN Hasto Wardoyo dalam keterangan tertulis BKKBN yang dikutip dari Antara. Berdasar Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) Tahun 2021, di NTT terdapat 15 kabupaten kategori merah karena angka kekerdilan di atas 30 persen, seperti Kabupaten Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara, Alor, Sumba Barat Daya, Manggarai Timur, Kupang, dan Rote Ndao. Selain itu, Kabupaten Belu, Manggarai Barat, Sumba Barat, Sumba Tengah, Sabu Raijua, Manggarai, Lembata, dan Malaka.
Bahkan, Timor Tengah Selatan dan Timor Tengah Utara tercatat angka prevalensi di atas 46 persen. Sebanyak lima di antara 15 kabupaten di NTT itu, masuk 10 besar daerah dengan angka prevalensi kekerdilan tertinggi di Indonesia dari 246 kabupaten.
Guna mengatasi masalah itu, BKKBN telah membentuk 200.000 tim pendamping keluarga yang terdiri atas bidan, PKK, dan kader KB. Nantinya, tim itu akan mengawal keluarga mulai dari sebelum ibu hamil hingga sesudah melahirkan atau dalam 1.000 hari pertama kehidupan anak (HPK). Pemeriksaan calon pengantin tiga bulan sebelum menikah juga dilakukan guna mengantisipasi potensi lahirnya bayi yang menderita kekerdilan. Pemeriksaan akses sanitasi, jamban, dan peningkatan literasi juga digencarkan lewat kolaborasi antar-kementerian