Oleh: Muhammad Rifai, Mantan KORDIV PHL Panwascam Lebatukan
Dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017, Pemilu didevenisikan sebagai sarana pelaksanaan Kedaulatan rakyat untuk memilih Presiden, Wakil Presiden, DPR, DPR Provinsi, DPR Kabupaten/Kota, dan DPD. Sebagai ruang kontestasi dan pintu masuk pergantian kepemimpinan Nasional, proses penyelenggaraan Pemilu menjadi titik yang paling rawan dan dapat berimplikasi konflik apabila tidak dikelola secara transparan dan akuntabel. Selain itu, integritas Penyelenggara pemilu, menjadi sangat penting dalam menentukan kualitas Pemilu. Bertolak dari rendahnya tingkat kepercayaan publik terhadap proses penyelenggaraan Pemilu pada masa Pemerintahan Orde Baru, Maka pasca Pemilu 1999, Lembaga Penyelenggara Pemilu kemudian diformat kembali dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2000 yang menjadikan Lembaga Penyelenggara Pemilu (KPU) benar-benar independen dengan meniadakan Keterwakilan Partai Politik, wakil-wakil Pemerintah dan wakil-wakil peserta Pemilu dalam struktur Lembaga Penyelenggara pemilu.
Sebagai garda terdepan dalam pelaksanaan penyelenggaraan Pemilu, institusi Penyelenggara Pemilu dituntut untuk senantiasa mengedepankan independensi etis-organisatorisnya. Kedua komponen yang melekat dalam diri penyelenggara Pemilu ini menjadi parameter yang akan digunakan oleh publik untuk menakar kualitas dan integritas Pemilu. Dalam Peraturan DKPP No 2 Tahun 2017 Tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara Pemilihan Umum, pasal 8 disebutkan bahwa, Prinsip dasar etika dan perilaku adalah : 1. Bertindak netral dan tidak berpihak terhadap partai Politik tertentu, Calon, Peserta Pemilu; 2. Menolak segala sesuatu yang dapat menimbulkan pengaruh buruk terhadap pelaksanaan tugas dan menghindari intervensi dari pihak lain; 3. Tidak mengeluarkan pendapat atau pernyataan yang bersifat partisan atas masalah atau isu yang terjadi dalam proses Pemilu; 4. Tidak mempengaruhi atau melakukan komunikasi yang bersifat partisan dengan peserta Pemilu, tim Kampanye dan Pemilih; 5. Tidak memakai, membawa, atau mengenakan simbol atau lambang atribut yang secara jelas menunjukan sikap partisan pada Partai Politik atau pesrta pemilu tertentu; 7. Tidak menerima hadia dalam bentuk apapun dari peserta pemilu, perusahan atau individu yang dapat menimbulkan keuntungan dari keputusan Lembaga Penyelenggara Pemilu; 8. Menolak untuk menerima uang, jasa atau lainnya dengan langsung maupun tidak langsung kecuali dari sumber APBN/APBD sesuai dengan ketentuan perundang-undangan; 9. Tidak menggunakan kewenangan atau pengaruh untuk meminta atau menerima janji, hadia, atau bantuan apapun dari pihak yang berkepentingan dengan penyelenggara Pemilu; 10. Menyatakan secara terbuka bila memiliki hubungan sanak saudara dengan calon, Peserta Pemilu dan tim Kampanye; 11. Menghindari pertemuan yang menimbulkan kesan publik adanya pemihakan.
Dalam sejarah Kepemiluan, ada begitu banyak catatan hitam bagi penyelenggara Pemilu akibat oknum penyelenggara yang terkooptasi dan terseret masuk dalam jebakan pragmatis. Kasus suap yang menjerat Komisioner KPU Wahyu Setiawan Tahun 2020 lalu adalah salah satu diantara kasus lain yang pernah mencoreng citra institusi Penyelenggara Pemilu. Selain menggerus kepercayaan Publik, keterjebakan penyelenggara Pemilu dalam praktek ‘rywash’ ini dapat berakibat pada menurunnya partisipasi masyarakat dalam Pemilu. Meskipun hasil Penelitian LIPI pada periode April hingga Mei 2019, secara Nasional, tren positif kepercayaan Publik terhadap Penyelenggara Pemilu pada Pemilu 2019 mengalami peningkatan 74,7 persen. Namun, skandal besar yang menyeret Wahyu Setiawan sebagai salah satu Pimpinan Lembaga Penyelenggara Pemilu (KPU) menjadi sinyalemen bahwa rapuhnya integritas Penyelenggara Pemilu dapat menjadi ancaman yang cukup serius bagi masa depan Demokrasi di Indonesia.
Dilihat dari statistik hukuman Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) terhadap anggota KPU dan BAWASLU dari tahun 2018 hingga tahun 2020 masih sangat tinggi. Dalam catatan DKPP, Pertahun 2020 terdapat 174 peringatan. Meskipun secara Nasional, akumulasi Pelanggaran yang dilakukan oleh Penyelenggara Pemilu masih diangka normal. Namun, ini merupakan tantangan terbesar dalam mewujudkan Pemilu yang berintegritas. Maka langkah preventif sangat diperlukan dalam rangka meminimalisir tindakan pelanggaran, agar catatan negatif bagi penyelenggara Pemilu kedepannya tidak mengalami peningkatan.
Potensi Masalah Dan Tantangan Terhadap Integritas Pemilu 2024
Pemilu 2024 tentu memiliki tantangan yang lebih besar dan kompleks. Dengan menghadirkan Pemilu/Pemilihan ditahun yang sama, tidak dipungkiri, kalau kemudian Pemilu 2024 sangat potensial menimbulkan masalah dan berpeluang konflik. Fritz Edward Siregar anggota Bawaslu RI dalam situs resmi Bawaslu RI (4/3/2021), Memaparkan lima permasalahan yang berpotensi muncul pada Pemilihan Umum 2024. Pertama, Soal tata kelola Pemilu lima kotak suara secara bersamaan yakni Pemilihan Presiden, pemilihan legislatif DPR RI, DPD RI, DPR Provinsi, DPR Kabupaten/Kota.Kedua, Persinggungan antara Rezim Pemilu dan rezim Pemilihan Kepala Daerah. Sedangkan, Kedua rezim ini masih diatur dalam Undang-Undang yang berbeda atau terpisah, sehingga akan berpengaruh pada penanganan pelanggaran oleh Bawaslu. Ketiga, beban kerja penyelenggara yang lebih besar dan tidak proporsional. Keempat, banyaknya pelaksana tugas atau pejabat Kepalah Daerah. Kelima, Ketepatan waktu penghitungan suara.
Besarnya potensi masalah di Pemilu 2024 mendatang, tentu menjadi tantangan bagi semua stakeholder yang terlibat dalam pelaksanaan Penyelenggaraan Pemilu. Setidaknya ada empat kategori potensi pelanggaran yang dapat timbul pada Pemilu 2024 diantaranya; Money Politik, Politik Identitas, Profesionalisme ASN, dan Netralitas Penyelenggara Pemilu (Rangkuti: 2022).
Integritas Pemilu 2024 dapat diwujudkan dengan membangun sinergitas dari semua pihak, baik Pemilih, Peserta Pemilu, maupun Penyelenggara Pemilu. Ada empat elemen penting dalam Penyelenggaraan Pemilu yang dapat dijadikan indikator untuk melihat integritas Pemilu. Pertama, Regulasi yang jelas. Kedua, Pemilih yang Cerdas dan berintegritas. Ketiga, Peserta Pemilu yang berintegritas. Keempat, Penyelenggara Pemilu yang berintegritas. Keempat elemen tersebut memiliki hubungan yang saling mendukung dalam membangun integritas Pemilu. Dengan demikian harapan untuk mewujudkan Pemilu yang berjalan sesuai asas LUBER-JURDIL dan bebas dari segala bentuk tindakan pelanggaran dapat dilaksanakan.