(Sebuah Opini Kecil)
Oleh:
Sabri Hidayatullah
Masyarakat dan lembaga-lembaga sosial sebagai suatu sistem yang seluruh bagiannya saling tergantung satu sama lain dan seharusnya bekerja sama mesti menciptakan keseimbangan (equilibrium). Keteraturan (order) tidak bisa mengabaikan konflik dan perubahan dalam masyarakat yang diciptakan oleh kekuasaan. Dalam masyarakat modern, masyarakat harus dianalisis sebagai suatu kesatuan yang utuh, yang terdiri atas bagian-bagian yang saling berinteraksi. Sistem sosial senantiasa berada dalam keseimbangan yang dinamis, penyesuaian terhadap kekuasaan pada dasarnya berlangsung lambat. Regulasi kekuasaan yang hadir bukan dari kebijaksaan masyarakat lebih merupakan proses eksternalisasi lewat proses pelembagaan yang tumbuh bukan dari aktivitas diferensiasi maupun inovasi, melainkan institusionalisasi kekuasaan yaitu keseluruhan sistem struktur hukum dalam politik serta aturan-aturan sosial yang melanggengkan dominasi dan menjamin reproduksi kepatuhan.
MASYARAKAT DALAM MODEL INTEGRASI
Menjelang pesta demorkasi, masyarakat Indonesia mulai dikehendaki oleh strategi kekuasaan yang memiliki efek fanatisme luar biasa serta melahirkan ritus-ritus kebenaran berdasarkan objek dominan baik figur, simbol maupun pengetahuan tentang pembacaan masa depan “Jika dipimpin oleh, maka ini yang terjadi”. Semuanya terlaksana dalam bentuk manajemen pengetahuan yang memungkinan dan menjamin beroperasinya kekuasaan oleh “fanatisme kedaulatan”, dalam artian masyarakat tidak lagi terintegrasi dengan baik akibat kehendak untuk mendominasi satu sama lain.
Memang benar, kekuasaan lebih berbentuk sesuatu yang produktif, dimana setiap orang turut ambil bagian dan menghasilkan kekuasaan. Akan tetapi, tidak dapat diabaikan bahwa setiap masyarakat secara relatif bersifat langgeng, setiap masyarakat merupakan struktur elemen yang terintegrasi dengan baik, meski klaim ini merupakan bagian dari strategi kekuasaan yang sengaja dibuat dan menjadi lahan subur “realitas suigeneris” untuk memenuhi kebutuhan pokok strategi kekuasaan menuju pesta demokrasi (PEMILU).
UU CIPTAKER SEBAGAI SISTEM PANOPTISME
Yang menjadi kekuasaan di Indonesia sekarang adalah hadirnya Undang-Undang baru sebagai teknologi politik ini akan berdampak pada semua bisa dihukum (semua bisa kena), orang gila, anak-anak, murid-murid, pekerja, dan mereka yang terlibat dalam produksi mesti dikontrol. Mungkin, ini dibuat sebagai upaya pembentukan sikap disipliner masyarakat seperti yang terjadi pada abad XVII dan XVIII, dimana perluasan praktik-praktik norma politik yang menyebar melalui seluruh tubuh sosial sehingga terjadi pembentukan masyarakat disipliner.
Kebijakan Undang-Undang baru tersebut memang diambil tidak berdasarkan kedaulatan, akan tetapi yang perlu digaris bawahi adalah teknik kekuasaan mau membidik kepatuhan. Kepatuhan mempunyai makna konkret, yang secara rill dibentuk subjek-subjek yang patuh. Walaupun kedaulatan merupakan hasil dari persetujuan individu-individu (masyarakat secara utuh), tapi bagi Foucault, kedaulatan itu segera sirna karena kekuasan telah mendominsi dan membentuk individu-individu (masyarakat secara utuh).
Hadirnya Undang-Undang Ciptaker di Indoensia misalnya, merupakan bagian dari strategi kekuasaan yang bersifat panoptik. Efek dari sistem panoptik ini menyebabkan pada diri masyarakat suatu kesadaran selalu dalam pengawasan atau dalam situasi terlihat secara permanen. Mungkin, sistem panoptik memungkinkan pengawasan dilakukan secara tidak teratur, tetapi efeknya didalam kesadaran adalah perasaan terus menerus diawasi.
Panoptik merupakan bentuk pengawasan yang memungkinkan untuk memperoleh ketaatan dan keteraturan dengan meminimalisir tindakan-tindakan yang sulit diperhitungkan atau tidak bisa diramalkan (Haryatmoko).
PENGAWASAN TERHADAP KEHIDUPAN PALING INTIM
Masyarakat sebagai aktor atomistik, cendrung berlaku rasional, dan memunculkan ide-ide konstruksionisme dalam integrasi sosial. Dengan adanya sistem panoptik yang tertuang dalam Undang-Undang Ciptaker, masyarakat sebagai sistem sosial dikontrol dan tiadanya keberlangsungan hubungan sosial yang lebih interaktif seperti biasanya.
Mekanisme Panoptik sebagai sebuah strategi kekuasaan untuk menciptakan masyarakat disiplin, merambah sampai pada kehidupan paling intim, “seks” dalam kehidupan keluarga yang sah misalnya. Foucault mengatakan bahwa “Masalahnya adalah menentukan rezim kekuasaan-pengetahuan-kenikmatan yang mendukung wacana tentang seksualitas manusia”. Sejarah seksualitas bukan merupakan representasi seksualitas, tetapi sejarah aturan perilaku.
Panoptik menghasilkan sutau bentuk represi (penekanan) terhadap keinginan dan keharusan. Misalnya cuti melahirkan yang hanya sehari menyebabkan represi luar biasa terhadap perempuan pekerja yang mengalami penederitaan luar bisa setelah melahirkan, harus dirahasiakan dan tidak menjadi alasan yang dapat diterima oleh kekuasaan untuk memperpanjang cuti.
Ada tiga tujuan pembentukan masyarakat disipliner dalam sistem kekuasaan panoptik, (Haryatmoko) yaitu : Pertama, membuat pelaksanaan kekuasaan lebih murah dari segi ekonomi, Kedua, dari segi politik, merupakan bentuk kontrol yang tidak terlihat, dan Ketiga, memaksimalkan manfaat sarana pedagogi, militer, industri, sehingga meningkatkan kepatuhan dan kegunaan seluruh unsur sistem. Disipilin melalui panoptik menjadi teknik efektif yang menjangkau kehidupan paling intim tanpa bisa diketahui datang dari subjek tertentu.***