Hukum

Kebangkrutan Simalakama di Indonesia – ANTARA News Banten

18
×

Kebangkrutan Simalakama di Indonesia – ANTARA News Banten

Sebarkan artikel ini

Jakarta (GATRANEWS) –
Hukum kepailitan di Indonesia sebenarnya telah tumbuh dan berkembang di masyarakat Indonesia sejak lama. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa kebangkrutan sudah tumbuh dalam kehidupan masyarakat Indonesia jauh sebelum pemerintah Indonesia menandatangani perjanjian dengan IMF sebagai cara untuk menyelamatkan Indonesia dari krisis tahun 1998.

Salah satu poin utama dari kesepakatan tersebut adalah bahwa Indonesia harus memiliki undang-undang kepailitan nasional, yang dikodifikasikan dalam undang-undang khusus yang pertama kali diatur dengan Perubahan atas Undang-Undang Kepailitan No. Undang-undang tersebut disetujui no. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tanggal 9 September 1998 tentang Undang-undang Kepailitan (UUK).

Baca juga: Hukum Globalisasi dan Kepailitan di Indonesia

Dalam perkembangannya, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 diubah pada tanggal 18 Oktober 2004 dengan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UUK-PKPU). Undang-undang tersebut dikembangkan menggunakan referensi kebangkrutan AS dan dikenal sebagai Kode Kebangkrutan AS.

Meskipun tidak semua ketentuan Undang-Undang Kepailitan AS berlaku untuk UU 37 tahun 2004, hal ini dimungkinkan karena keragaman hukum harus dipertimbangkan saat menyusun peraturan. Werner Menski mencatat pada halaman 35 dari bukunya Comparative Law in a Global Context bahwa argumen untuk mengakui pluralisme inheren hukum diterima secara luas dalam literatur hukum komparatif teoretis.

UU No 37 Tahun 2004 melengkapi UU sebelumnya, UU No 4 Tahun 1998. Oleh karena itu, perubahan ini diharapkan dapat memberikan hasil yang lebih baik bagi pengawasan hukum kepailitan Indonesia. Referensi atau perbandingan hukum diperlukan, yaitu hukum kebangkrutan AS.

Menurut Peter de Cruz dalam bukunya Comparison of Legal Systems, pembuatan hukum dilakukan dengan menggunakan perbandingan hukum, yaitu sebagai bantuan untuk perubahan hukum, dalam hal ini hukum kepailitan.

UU No 37 Tahun 2004 sangat mudah dalam praktiknya untuk mengajukan pailit terhadap debitur, yaitu persyaratan Pasal 2 Ayat 1 dan Ayat 8 UU No 37 Tahun 2004. yang:
Debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan belum melunasi sekurang-kurangnya satu utang yang jatuh tempo dan dapat ditagih, dinyatakan pailit oleh pengadilan atas permohonan dirinya sendiri atau seorang kreditur atau lebih.
Bukti sederhana.

Kemudahan pengajuan kebangkrutan berdampak negatif pada bisnis secara keseluruhan.

Jika dilihat dari tujuan hukum kepailitan sebagai bagian dari hukum dagang, maka tujuan hukum kepailitan adalah untuk mempertahankan kelangsungan hidup dan perkembangan perusahaan secara normal. UU No 37 Tahun 2004 sebenarnya bertujuan untuk menjamin perlindungan investasi kreditur dalam pengelolaan debitur. Hal ini disengaja karena dalam bisnis salah satu faktor utama dalam mengembangkan bisnis adalah modal. Untuk itu, investor perlu dilindungi agar bisnis dapat berjalan dengan lancar.

Namun karena persyaratan sederhana untuk mengajukan pailit, yakni Pasal 2 Ayat 1 dan Ayat 8 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tersebut di atas, maka pailit juga dimungkinkan untuk membunuh pesaing usaha. Karena hampir tidak ada bisnis yang bebas utang, hampir semua bisnis atau debitur bisa bangkrut. Ruang hukum ini bisa dijadikan alat untuk membunuh pesaing bisnis.

Hal ini justru mengancam kelangsungan usaha, karena fasilitas ini dapat dijadikan sebagai sarana persaingan usaha yang tidak sehat untuk mematikan usaha debitur.

Ini terjadi dalam banyak kebangkrutan, mengguncang banyak perusahaan besar, dan berdampak luas pada perekonomian nasional. Hal ini pada akhirnya menggoyahkan stabilitas ekonomi negara.

Berbagai kasus kebangkrutan telah menimbulkan efek domino yang sangat besar bahkan secara global, seperti kebangkrutan perusahaan seperti Manulife dan Kresna Life. Efek domino ini telah mengganggu banyak hal, termasuk hubungan bisnis global.

Jika kita melihat Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, pengenaan status pailit dalam Bab XI Undang-Undang Kepailitan Amerika Serikat tidak ada batasan mengenai kepailitan. Pembatasan ini diperlukan untuk memastikan bahwa debitur harus dinyatakan pailit atau tidak dinyatakan pailit. Hanya dengan demikian tujuan hukum kepailitan dapat terjaga dan berkembang dengan baik, serta tidak menjadi hambatan dalam dunia usaha.

Maka dalam kepailitan diperlukan peningkatan syarat pemberian status pailit yaitu kemampuan debitur yaitu kepailitan. Oleh karena itu, kepailitan harus memastikan bahwa debitur yang masih dapat membayar dipisahkan dari debitur yang sebenarnya tidak akan membayar. Jadi Kitab Undang-Undang Kepailitan secara keseluruhan memang harus menjadi cara menagih utang bagi kreditur, bukan alat yang digunakan untuk mematikan usaha debitur.

*) Penulis adalah mahasiswa J.D. Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *