Artikel/Opini

COGNITA INTER INCURSUM IGNORANTIAE ¬(Belajar ditengah Gempuran Kebodohan)

37
×

COGNITA INTER INCURSUM IGNORANTIAE ¬(Belajar ditengah Gempuran Kebodohan)

Sebarkan artikel ini

Oleh : SABRI HIDAYATULLAH

Wacana pendidikan yang mendukung pembangunan ekonomi dan sering dijadikan referensi para ahli adalah kasus Jerman dan Jepang. Kebangkitan kembali ekonomi Jerman dan Jepang yang begitu cepat dan meyakinkan sesudah perang Dunia II dimungkinkan oleh adanya infrastruktru pendidikan yang sangat baik dikedua negara itu.

Kekerasan Kolektif

Tak dapat dipungkiri, akhir-akhir ini dengan berkembangnya teknologi, berbagai peristiwa menarik, memilukan, menjadi makanan favorite beberapa media-media di Indonesia. Tak ayal, beberapa media sosial dan konten-konten menyajikan berita “viral” (seperti konten-konten pembodohan) menjadi menu paling menarik untuk dibicarakan. Orang mulai menjauh dari berita-berita yang lebih penting.

Akhir-akhir ini, seorang bocah cengeng yang karena putus cinta menjadi perbincangan hangat banyak orang. Hal ini menunjukan ketidakseimbangan dan terjadi kekerasan koletif terhadap Fajar “si bocah paling galau” tersebut. Khalayak ramai menertawakan dirinya karena dianggap “lucu”, tetapi sebenarnya bukan itu yang diharapkan oleh beberapa akun media sosial (TV Swasta, Akun Para Artis). Akun-akun media sosial harusnya lebih mementingkan produktivitas sumber daya manusia (SDM) untuk memperbaiki sistem pendidikan dinegeri ini.

Gagalnya Kekuasaan

Perlu dicatat bahwa, kekuasaan memiliki tanggung jawab dalam menyaring informasi untuk mendukung sistem pendidikan di Indonesia. Kekuasaan mestinya mem-filter dengan baik akun-akun media sosial yang menggelar kebodohan dan yang memproduksi konten-konten berbau humanis (si Fajar Sadboy tidak perlu ditayangkan tetapi diberikan pendidikan yang bermutu).

Barangkali benar, sistem pendidikan yang diajarkan kekuasaan hanya berlaku pada tatanan formal (SD, SMP SMA dan PT), dan tidak berlaku bagi seluruh warga negara sehingga menimbulkan ketidakseimbangan. Ketidakseimbangan juga terjadi karena muatannya. Politik pendidikan diarahkan semata-mata untuk meraih keunggulan global dengan tekanan penguasaan teknologi tinggi. Akan tetapi, tekanan teknologi tinggi tersebut lajunya tidak mampu dibendung oleh kekuasaan sehingga menimbulkan banyak penyimpangan bagi warga negaranya.

Tentu saja, segudang contoh adanya ketidakseimbangan pendidikan yang bertahun-tahun dianggap wajar seperti yang disajikan oleh akun-akun media sosial baik TV Swasta, artis, selebriti yang menitih karir menjadi Youtuber, tak jarang turut andil dalam mempromosikan kebodohan.

Vaksinasi Psikologis

Tidak terlalu berlebihan jika ada yang mengibaratkan bahwa emosi masyarakat Indonesia dewasa ini bagaikan rumput kering. Jangankan disulut api, disulut puntung rokokpun akan nyala dan berkobar. Penyajian konten-konten yang tidak berpendidikan selalu menghadirkan menurunnya mutu pendidikan masyarakat akibat kegagalan kekuasaan dalam membuat tirani besar dalam dunia pendidikan yang mesti disosialisasikan dan ditamkan secara tegas kepada para pemiliki konten di media sosial.

Jika tidak dilakukan, maka virus kebodohan akan menyebar dengan cepat dan akan mengakibatkan kerusakan pada tatanan masyarakat. Jika terjadi, maka sosulsi yang dapat ditawarkan adalah revolus pendidikan sebagai suatu vaksinasi untuk memperbaiki psikologi manusia sama seperti yang dilakukan oleh Jerman dan Jepang.

Dalam kajian psikososial, masyarakat yang cendrung agresif dan bertidndak “keras” akibat pembodohan seringkali disebut buta emosi (emotion illiteracy). Buta emosi secara terpisah bukanlah masalah yang membuat dahi berkenyit, tetapi jika dilihat sebagai kelompok, buat emosi merupakan barometer suatu perubahan besar dalam masyarakat. Dalam istilah Golemen ia merupakan racun jenis baru yang merasuki pengalaman dan menandai adanya cacat berat dalam ketrampiran emosional.

Kemerosotan emosional tersebut dikebanyakan negara berkembang (termasuk Indonesia) merupakan “harga” universal kehidupan modern yang harus dibayar oleh kekuasaan. Kemerosotan itu menyebabkan orang akan semakin jauh dari betapa pentingnya pendidikan. Orang akan bertindak bodoh agar disebut “viral”, diundang diamana-mana untuk mengumbar kebodohan.

Kesepakatan

Kita sudah sepakat, bahwa pendidikan nasional yang berdasar Pancasila dan UUD 1045 menjadi tanggung jawab bersama baik keluarga, masyarakat dan Pemerintah khususunya. Fungsi yang diemban adalah peningkatan mutu kehidupan dan martabat kemanusiaan. Sasaran yang dituju adalah kecerdasan, kemanusiaan yang utuh, ketaqwaan terhadap Tuhan, budi pekerti luhur, ketrampilan dan pengetahuan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri.

Berdasarkan kesepakatan tersebut, perlu kesadaran kolektif dalam menjamin dan meningkatkan mutu pendidikan. Kita harus pandai mem-filter konte-konten media sosial yang tidak bermutu, disingkirkan dari kehidupan kita agar terciptanya kualitas kehidudupan yang berperi-kemanusiaan. Perlu digaris bawahi kesadaran kolektif kita, sebagai manusia yang diciptakan untuk mengemban amanah-amanah ilahi, kita senantiasa giat dan tekun belajar untuk meningkatkan ketrampilan diri ditengah gempuran kebodohan yang disajikan oleh berbagai konten media sosial.2

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *