tangerang (GATRANEWS) – Penetapan polisi terhadap mahasiswa Universitas Indonesia (UI) Muhammad Hasya Atallah Syaputra sebagai tersangka wajar karena kecelakaan itu akibat kelalaian korban, kata pengamat lalu lintas Ki Darmaningtyas.
“Dari yang saya baca dari kronologis dan keterangan saksi mata, yang bermasalah itu pengendara motor yang naik motor, dia ngebut motornya kencang sekali, mungkin pipa knalpotnya diganti. Kalau lihat dengan kronologis yang ada saya kira begitu. logis untuk mengidentifikasi para tersangka,” kata Darmaningtyas dalam keterangannya.diterima di tangerang pada hari sabtu
Sebelumnya, polisi menetapkan mahasiswa Universitas Indonesia (UI) Muhammad Hasya Atallah Syaputra yang tewas dalam kecelakaan itu sebagai tersangka.
Polisi menyebut Hasya tewas dalam kecelakaan di Jagakarsa, Jakarta Selatan, akibat kelalaiannya sendiri. Bukan karena kelalaian pengemudi Pajero yang juga mengalami kecelakaan pada 6 Oktober 2022.
Darmaningtyas mengatakan korban tidak selalu benar. Sebagian besar kecelakaan sepeda motor terjadi karena kelalaian pengemudi, ada yang melawan arus, ada yang zigzag.
“Kalau kita lihat kasus Srenseng Sawah, motor jatuh dan ditabrak mobil. Masyarakat harus disadarkan bahwa pengemudi mobil tidak selalu salah dan pengendara motor tidak selalu benar. Dalam beberapa kasus, pengemudi mobil bisa. Kalau yang terjadi mobil ngebut lalu nabrak motor dan jatuh, itu mobil yang salah,” ujarnya.
Namun dalam kasus ini, kata Darmaningtyas, sepeda motor melaju kencang, mengerem mendadak, dan pengendara jatuh ke belakang hingga tertabrak mobil.
“Saya tidak mengenal salah satu dari mereka, baik korban maupun saksi yang mengemudikan kendaraan tersebut. Komentar saya berdasarkan pertimbangan rasional,” ujarnya.
Terkait isu mendiang yang ditetapkan sebagai tersangka, Damanindias menilai hal tersebut tidak menjadi masalah. Karena ketika korban yang diidentifikasi oleh tersangka meninggal, penyelidikan berakhir.
“Pertanyaannya, kenapa namanya tersangka? Kalau sudah ada tersangka, korban meninggal, artinya penyidikan otomatis ditutup,” jelasnya.
Darmaningtyas juga mendukung usulan polisi jika keluarga korban tidak puas, bisa menempuh langkah hukum praperadilan.
“Saya mendukung langkah praperadilan untuk membuktikan salah mobil atau motor,” ujarnya.
Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Angkutan Jalan (LLAJ), pengemudi kecelakaan tidak selalu menjadi tersangka. Anda harus melihat alasannya. Seperti mengecek lokasi kejadian, menelusuri jalannya kejadian, mencari keterangan saksi mata, dll. Dari sudut pandang pelaku dan korban, jika korban bersalah, ia dapat ditetapkan sebagai tersangka. Karena tersangka sudah meninggal, kasusnya harus dihentikan atau dikeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).
Profesor Marcus Priyo Gunarto, pakar hukum pidana Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, mengatakan, soal tidak dipidananya pengemudi mobil itu soal lain karena harus didasari kekeliruan legitimasi pengemudi mobil yang terjadi ketika kejadian terjadi saat hujan, cuaca basah, apakah mobil dikendarai dengan hati-hati di jalan yang licin dan di lingkungan yang gelap, apakah lampu depannya memadai, apakah kecepatannya wajar, dan apakah fungsi remnya normal.
“Jika syarat tersebut terpenuhi, maka pengemudi mobil tidak akan dimintai pertanggungjawaban pidana karena tidak ada unsur pidananya,” ujarnya.
Untuk itu, lanjut dia, jika SP3 yang dikeluarkan Ditlantas Polda Metro Jaya terhadap pengendara mobil karena tidak cukup bukti sebenarnya tidak masalah. “Tujuan SP3 untuk memberikan kepastian hukum,” ujarnya.