Artikel/Opini

HIBRIDITAS KOMUNITAS AGAMA

38
×

HIBRIDITAS KOMUNITAS AGAMA

Sebarkan artikel ini

Oleh : Sabri Hidayatullah

Contoh tipikal dari perpaduan (Kongkalikong  atau Perselingkuhan) adalah cara masuknya CARA MASUKNYA capital asing ke suatu desa dalam bentuk yang “agung”. Sasarannya tidak lagi berfokus pada masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada hasil hutan laut dan perkebunan akan tetapi lebih dari itu, iklim modernisasi ala capital dikonstruksikan dalam tubuh komunitas agama dengan bentuk yang lain.

*Kuda Troya*
Setelah komunitas agama pindah dan beralih profesi menjadi vlogger youtuber bahkan selebgram, dengan kata lain membanting stir dalam menebar benih kebaikan, tidak serta-merta menggusur kebutuhan tetapi ada premis tersembunyi sebagai aktor yang berlaga di dalam proyek modernisasi ala capital.
Proyeksi pembaharuan yang dibalut Dengan hadirnya “budak” dengan gaya hidup baru yang konsumtif menjadikan views sebagai tujuan universal komunitas agama. Di sinilah kelakar serius dari Umaruddin Masdar, “bahwa jargon universalisme ternyata agenda baru kolonialisme yang disimpan di masa lalu!” Karena ini adalah agenda kapitalisme global untuk menggusur masyarakat dari “tuntunan” ke “tuntutan”. Kaum beragama dijadikan *Kuda Troya* untuk melapangkan jalan eksploitasi pemikiran dari “tuntunan” ke “tuntutan”.

*Hibriditas Komunitas Agama*
Proses hibridisasi yang dimainkan oleh komunitas agama adalah bentuk pergeseran subjektivitas yang serba tahu di tempat lain dan dengan orang lain tetapi menjadi tolol di hadapan komunitas sendiri. Dalam konteks hibriditas, sang subjek dipandang dalam proses _Othering_ (yang lain) dan mulai berbalik subjek atau mulai berbalik pandang yang mend-aku dirinya, meski hibriditas diharapkan dapat menciptakan proses pendisiplinan melalui apa yang mereka tampilkan melalui apa yang mereka bagikan dan melalui apa yang mereka sarankan ketika bertemu dengan orang lain.

Strategi hibridisasi ini misalnya ditunjukkan homie Baba dalam kasus pembagian gratis Alkitab oleh misionaris Eropa ke tengah masyarakat India masyarakat kolonial. Alkitab itu diharapkan akan menjadi cermin bagi rakyat India untuk pindah agama, untuk melihat dirinya secara baru. Tetapi ternyata teks Alkitab bernasib lain di tengah rakyat India ada yang di barter dengan beras di pasar, ada yang jadi bungkusan kacang, ada yang jadi pembersih, dan sebagainya. Misi pemberaan dengan teks wakil barat ini justru buyar berantakan dalam strategi populis tersebut. Proses hibriditas antara komunikasi dan interaksi di tengah pemberi dan yang diterima tidak tunggal titik bukan hanya melalui pendisiplinan dari atas ke bawah, seperti pembagian Alkitab kepada masyarakat terjajah agar terjadi reformasi agama. Tapi juga ada proses komunikasi dan interaksi dari bawah ke atas. Kembarannya ini justru membawa arus balik, dari bawah ke atas, seperti praktik memperlakukan Alkitab di pasar yang di barter dengan roti seperti contohkan Bhabha.

Menurut Bhabha, permainan hibriditas ini muncul karena adanya permainan-permainan penanda yang misterius dan tidak layak di mata kolonial, seperti permainan stereotip, guyonan dan plesetan permainan beragam keyakinan yang berlawanan (dengan kemurnian ajaran kolonial). Dari sinilah kita mulai mengenal suatu ruang khusus bagi sebuah wacana yang dipakai oleh komunitas agama dalam ranah kebudayaan yang dipopulerkan melalui penguasaan media yang sebenarnya tujuan daripada itu lain daripada yang lain atau dengan kata lain tujuan daripada proses aplikasi tatanan nilai itu yang diajarkan di dalam media sosial seperti YouTube vlogger lain sebagainya bukan murni daripada ingin mengembangkan atau ingin menyebarkan isi dari pada apa yang ingin disampaikan tetapi ada hal yang tersembunyi ada yang misterius penanda yang misterius di balik itu.***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *