TIMIKA, (Torangbisa.com) – Babak baru penegakkan Hukum yang semakin amburadul dan tidak berpedoman pada Asas Hukum semakin tampak jelas setelah beberapa kasus yang telah ditangani oleh Kejaksaan tinggi Papua telah cacat prosedur.
Hal itu diungkapkan Sekretaris Jenderal, Lembaga Swadaya Masyarakat Papua Anti Korupsi (LSM- KAMPAK) Johan Rumkorem kepada media ini, Selasa, (29/2/2023).
Sekjen Kampak Papua menilai para jaksa di kejaksaan tinggi Papua menjalankan tugasnya semakin tidak profesional, bahkan terkesan kasus- kasus yang ditanganinya tendensi pada kepentingan politik semata.
Seperti yang terjadi pada kasus dugaan korupsi Sentra Pendidikan Mimika. Meskipun hasil perhitungan BPKP kerugian negara kasus itu mencapai Rp 1,6 miliar, namun diduga demi menyelamatkan tersangka Jenny Usmany, Kejati Papua malah menggunakan perhitungan Inspektorat Mimika.
Keadaan ini berbanding terbalik dengan penanganan dugaan korupsi pengadaan pesawat dan helikopter yang menjerat Plt Bupati Mimika. Untuk menghitung kerugian negara, Kejati Papua mengakui menggunakan jasa akuntan publik, bukan BPKP. Dugaan sementara, jika menggunakan perhitungan BPKP akan memakan waktu lama dan kasus tersebut bisa saja tidak ditemukan indikasi korupsi seperti hasil pemeriksaan KPK terhadap kasus tersebut. Sedangkan jika menggunakan akuntan publik, niat oknum tertentu yang ingin segera menjadikan Johannes Rettob sebagai terdakwa (agar dinonktifkan dari jabatan Plt Bupati Mimika) bisa segera tercapai.
“Saya minta Kejagung, KPK RI, dan Menhumkam datang periksa oknum-oknum di Kejaksaan Tinggi Papua, termasuk mantan Kajari Timika. Permainan hukum di tanah Papua ini sudah luar biasa parah,” tegas Johan.
Bahkan, ia menuding Kejati Papua memanfaatkan laporan masyarakat sebagai “lahan”, beberapa kasus diantaranya seperti yang menjerat mantan Kadis Pendidikan Mimika, Jenny Usmani dibiarkan mengambang.
“Korupsi dana Otsus Sentral Pendidikan Mimika merugikan keuangan negara Rp 1,6 miliar, kasus ini diselidiki oleh Polda Papua sejak tahun 2019, hingga menetapkan JU sebagai tersangka, dan berkas tersangkanya sudah diserahkan ke Kejaksaan Tinggi Papua. Tapi sampai saat ini pihak Kejati sendiri tidak mengeluarkan P21-nya,” ujarnya.
Yang parahnya lagi, lanjut dia, Kejati Papua tidak menghormati hasil penyidikan dari Polda Papua yang menggunakan BPKP sebagai lembaga auditor resmi negara yang memiliki kewenangan untuk menghitung kerugian keuangan negara, malah pihak Kejaksaan Tinggi Papua menggunakan hasil perhitungan Inspektorat Mimika.
“Kepala Inspektorat Mimika waktu itu bawahannya Jenny Usmany ketika dia sebagai Plt Sekda otomatis dia bela atasannya. Menggunakan inspektorat sebagai acuan untuk menghitung kerugian negara lalu mengabaikan BPKP, inikan modus yang paling aneh di republik ini. Kalau sudah seperti ini kami menduga pemerintah dalam hal ini Kapala inspektorat dan Mantan Kadis Pendidikan JU bekerja sama dengan oknum-oknum jaksa di Kejaksaan Tinggi Papua supaya kasus tersebut di SP3kan, kalau kita melihat gaya penanganannya, ini pekerjaan yang paling bobrok,” tegasnya.
Menurut Johan, nasib guru-guru di Mimika selama ini dizolimi oleh mantan Kadis Pendidikan JU, namun justru dilindungi Kejati Papua.
Lanjut dia, perlakuan terhadap JU berbanding terbalik dengan perlakuan hukum terhadap Plt Bupati Mimika. Baru saja kasus tersebut dilapor ke Kejati Papua, tanpa menunggu lama langsung dinaikkan status penyelidikan menjadi penyidikan.
“Baru saja dilapor bulan Oktober 2022, langsung naik penyidikan bulan Desember, lalu bulan Februari 2023 langsung ditetapkan tersangka, malah sekarang mau dilimpahkan ke Pengadilan supaya segera disidang. Kejati Papua pakai perhitungan jasa akuntan publik yang bisa saja diatur sesuai kepentingan pemesan. Padahal untuk menghitung kerugian keuangan negara dalam kasus hukum harus melewati BPKP. Karena akuntan publik hanya menilai administrasi tidak melalui investigasi, beda dengan BPKP yang pasti memanggil pihak-pihak terkait,” tegasnya.
Johan menambahkan lagi, dirinya melihat dalam tubuh Kejaksaan Tinggi Papua sudah bekerja di luar SOP, sarat kepentingan politik.
“Bukan hanya kasus di Timika, dana otsus di Dinas Pendidikan Propinsi Papua, dana covid di Keerom, Bupati Waropen, Bupati Boven Digul, dan Sentral Pendidikan Mimika belum dituntaskan, tapi kasus yang menjerat Plt Bupati Mimika digeber terus biar yang bersangkutan berstatus terdakwa agar segera dinonaktifkan, Kejaksaan Tinggi Papua mengabaikan norma-norma hukum di Republik ini,” tegas pria yang dikenal vokal itu.
Ia mengakui LSM Kampak mendukung penuh penegakan hukum di Papua, namun dengan kinerja yang dipertontonkan Kejati Papua justru membuat warga Papua semakin apatis dengan penegakan hukum di Republik ini.
“Jangan manfaatkan lembaga itu sebagai alat politik, jangan ada pesan sponsor sehingga memilah-milah kasus. Kami curiga kasus pesawat jangan-jangan diberikan tip supaya prosesnya sangat cepat. Kalau kasus korupsi sudah dijadikan sebagai lahan, ujung-ujungnya masyarakat jadi korban, akhirnya demo sana demo sini, anarkis sana sini, padahal biang keroknya adalah APH yang tidak cermat melihat kondisi di lapangan,” tandasnya.
Sebagai anak adat asli Papua yang bersuara demi keadilan dan kebenaran dalam hal penegakkan hukum di Papua, Johan meminta dengan tegas, agar para APH jangan manfaatkan korupsi sebagai lahan untuk kepentingan tertentu.
“Ingat masa depan anak cucu, karena kalau kalian tidak kerja jujur membela keadilan dan kebenaran nanti masa depan keluarganya akan hancur. Tanah Papua adalah tanah yang diberkati oleh Tuhan jadi kalian harus kerja jujur,” tandas Johan dengan suara keras.
Sebelumnya Kampak telah mendatangi (Kejati Papua) pada bulan oktober tahun 2022 dan kami mendapat laporan bahwa mereka menggunakan perhitungan kerugiannya melalui inspektorat, bukan BPKP. Sedangkan penyidik Polda Papua sendiri maunya perhitungan dilakukan dari BPKP, ” tambah Johan.
Sementara perlu diketahui, menyoal kewenangan penetapan kerugian negara, pada dasarnya terdapat tiga lembaga yang boleh menghitung dan menetapkan adanya kerugian negara dalam kasus tipikor yakni Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), dan Komisi Pengawas Korupsi (KPK).
Kewenangan BPK untuk menghitung dan menetapkan kerugian negara diatur dalam Pasal 10 ayat (1) UU BPK. Sementara Pasal kewenangan BPKP untuk diatur dalam Pasal 3 huruf Peraturan Presiden Nomor 192 Tahun 2014 tentang Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan. Sebagaimana dikutip dalam artikel Klinik Hukum “Pihak yang Berwenang Menilai Kerugian Negara dalam Kasus Korupsi”, pihak yang berhak menilai/menetapkan ada tidaknya kerugian keuangan negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Mahkamah Agung (MA) menerbitkan Surat Edaran MA (SEMA) No.4 Tahun 2016 tentang Pemberlakukan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2016 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan. Salah satu poinnya rumusan kamar pidana (khusus) yang menyatakan hanya Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang secara konstitusional berwenang men-declare kerugian keuangan negara.(red)